Cerpen

Beratapkan langit jingga yang mempesona, kau berdiri tegak di tepi jalan menatap hamparan sawah yang menguning.

Tiba-tiba angin berhembus kencang menarik-narik kerudungmu. Di waktu yang sama berpuluh-puluh burung pipit berbaris rapih tanpa paksaan, terbang mengangkasa. Beberapa diantaranya diam-diam mencuri pandang di atas buliran padi yang padat berisi. lantas mematuk satu-dua biji. Kemudian setelah puas mereka bergerak mengepakkan sayapnya, terbang sambil bernyanyi riang.

Motorku melaju begitu pelan saat melintas di hadapanmu. Niat hati ingin menyapa walau hanya sekedar salam, namun lisan ini begitu berat untuk bersuara.

Tertahan oleh nasehat ibu yang terus berulang, timbul dan tenggelam dalam ingatan.
“Nak, perempuan itu makhluk yang sangat perasa. Jangan sekali-kali kau sentuh hatinya jika tak siap memenuhi harapannya”

Duhai ibu, maafkan anakmu yang telah lalai. Lagi-lagi aku menumbuhkan harapan seseorang. Tapi sungguh, ini bukan sebuah kesengajaan. Aku tak bisa melarang siapapun untuk menahan hati agar tak sembarang mencintai.

Kuinjak rem perlahan, kini aku terduduk di atas jok berjarak tepat 10 meter darimu. Kali ini kita menghirup udara yang sama, menatap buliran padi yang serupa.

Ahh… perlukah kukatakan padamu, tapi darimana memulainya? aku tak pernah ingin menyayat hati siapapun, terlebih makhluk lembut bernama perempuan.

Aku tak pernah memintamu menunggu di tepi sawah setiap hari. Diri ini juga belum sekalipun berbicara denganmu. Namun orang-orang diluar sana begitu ramai membicarakan tentangmu yang selalu menanti di batas senja. Kau yang tiba-tiba berhijab setelah mendengar bahwa aku sangat menyukai perempuan yang menutup auratnya.

Doaku terus bergema di hati, ya Allah berikan ilham… jangan biarkan hamba salah melangkah, apalagi salah berucap. Kuayunkan kedua kaki untuk berjalan mendekat padamu, selagkah-dua langkah… ohh tidak hati kecilku melarangnya. Tak seharusnya aku merapatkan jarak hanya berdua denganmu, Allah takkan menyukainya.

Tubuhku memutar balik, kembali membelakanginya. Ya, aku memilih memacu dan memutar roda duaku ini. Maafkan, aku pergi tanpa sepatah katapun dan membiarkanmu duduk berteman senja yang sebentar lagi berganti gelap.

Tak ada keinginan dalam diri ini untuk menumbuhkan harapan di hatimu, keinginanku saat ini adalah lulus sekolah dan melanjutkan ke perguruan tinggi di Bandung, tak lebih dan tak kurang. Belum ada sedikitpun ruang yang kusediakan untuk menyambut sejuknya kasihmu.

Saat langit hitam berangsur angsur berubah menjadi terang, mentari menyapaku dengan hangatnya, burung-burung masih berkicau merdu saat adikku kembali menyodorkan amplop dengan warna yang sama seperti sebelumnya, merah. Apalagi yang kau inginkan dariku?, Kucoba menenangkan diri, berdamai dengan hati. Perlahan tangan ini membuka surat singkat itu.

'Assalamualaikum kak Shenan…
Kak, kemarin sore kenapa tidak menyapaku? Kakak tau kan, aku berdiri berjam-jam di tepian sawah bertemankan burung-burung yang terus menggodaku, bahkan hingga senja berakhir seiring terdengarnya kumandang adzan. Tega kau kak!
Kak, sekarang aku telah berhijab, maka izinkan kasih ini bersemayam dengan lembut di hatimu. Agar rindu ini menemukan ruang terbaiknya untuk berlindung.'

Aku menghela napas panjang, mengusap dahi.
Terdiam beberapa saat, ya Tuhan…

Surat yang terus menerus kau kirimkan tak pernah dibaca. Jalur pulang yang biasa ditempuh melalui pematang sawahpun kualihkan. Walau harus memutar jauh dan meyusuri jembatan gantung sepi yang bergoyang-goyang saat dilewati, sedang di bawahnya sungai meluap-luap, dengan aliran derasnya mampu menenggelamkan apapun.

Horror, sungguh menegangkan. Semua cara dilakukan demi memangkas habis harapan-harapanmu yang terus bertumbuh. Tak pernah ku mengerti, atas semua sikap yang tak ramah, kau masih saja sanggup merawat akar-akar cinta itu tetap subur dan hidup.